5 Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah ke-93 Tahun 2025: Membaca Ulang Makna “Pemuda Berkemajuan” di Era Krisis Makna
"Pemuda itu api, bukan abu. Tapi apakah kita masih bisa merasakan panasnya?" Di usianya yang ke-93 tahun, Pemuda Muhammadiyah berdiri di persimpangan zaman. Bukan sekadar peringatan seremonial dengan tagar dan Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah ke-93 Tahun 2025, tapi sebuah momentum reflektif: masih relevankah idealisme “berkemajuan” di tengah ledakan digitalisme, krisis identitas, dan realitas anak muda yang kian tercerabut dari akar sejarah?
Saat Twibbon Jadi Simbol, Bukan Substansi
Setiap tahun, jelang 2 Mei tanggal kelahiran Pemuda Muhammadiyah jagat media sosial diramaikan dengan unggahan Twibbon bertema milad. Tahun ini, desain-desain Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah ke-93 Tahun 2025 bertebaran dengan warna biru langit, lambang matahari, dan tagline yang menegaskan spirit progressif. Namun di balik euforia visual, muncul pertanyaan mendalam: apakah semangat itu masih hidup dalam tindakan?
“Anak-anak muda hari ini terlalu sibuk branding, tapi lupa membangun isi,” ujar Farhan Habibi (29), kader Pemuda Muhammadiyah dari Yogyakarta yang kini aktif menggerakkan komunitas literasi di kampung-kampung. “Twibbon itu penting buat menyuarakan identitas, tapi lebih penting lagi apa yang kita kerjakan setelahnya.”
Farhan bukan satu-satunya yang menggugat. Di akar rumput, sejumlah kader Pemuda Muhammadiyah tengah menggeliat dalam senyap. Mereka menginisiasi program penguatan ekonomi umat berbasis koperasi, mendampingi korban kekerasan seksual, hingga menjadi relawan edukasi digital di pelosok Indonesia. Tapi sayangnya, kerja-kerja senyap itu kerap tenggelam oleh narasi-narasi elitis dan event yang lebih banyak menyoroti panggung ketimbang substansi.
Data: Pemuda Muhammadiyah, Kini Dimana?
Berdasarkan data internal hasil survei Litbang PP Muhammadiyah (2024), hanya 28,3% anggota aktif Pemuda Muhammadiyah usia 18–35 tahun yang secara konsisten terlibat dalam kegiatan sosial-keumatan. Sementara itu, 41,2% justru menyatakan kesulitan memaknai posisi Pemuda Muhammadiyah di tengah dinamika keislaman dan kebangsaan hari ini.
Fenomena ini tak lepas dari konteks global. Menurut laporan Pew Research Center, generasi muda di seluruh dunia kini cenderung mengalami krisis partisipasi organisasi formal, termasuk keagamaan. Mereka lebih nyaman bergerak secara sporadis, berbasis isu, dan tidak terikat struktur.
“Pemuda Muhammadiyah harus berani membaca ulang dirinya sendiri. Jangan sibuk jaga simbol, tapi lupa jaga denyut nadi gerakan,” ujar Dr. Fauzan Al-Madani, pengamat gerakan Islam muda dari UIN Jakarta. Ia menekankan pentingnya melakukan refleksi kultural terhadap model kaderisasi, gaya komunikasi, hingga keberanian keluar dari zona nyaman.
“Berkemajuan” Bukan Hanya Narasi, Tapi Keberpihakan
Salah satu nilai kunci dalam Pemuda Muhammadiyah adalah gagasan Islam Berkemajuan. Namun dalam praktiknya, frasa itu kerap menjadi jargon tanpa jangkauan sosial yang konkret. Padahal, sejarah mencatat bahwa Pemuda Muhammadiyah sejak era K.H. Mas Mansur telah menjadi pelopor keberanian sosial dari reformasi pendidikan hingga advokasi petani.
Sayangnya, menurut catatan lapangan Tim Advokasi Sosial Muhammadiyah 2023, hanya 17% cabang Pemuda Muhammadiyah aktif melakukan program advokasi berbasis komunitas marginal. Ini menunjukkan gap yang signifikan antara nilai dan implementasi.
“Yang perlu dihidupkan kembali adalah keberpihakan. Misalnya, apa posisi Pemuda Muhammadiyah atas isu konflik agraria? Atau bagaimana sikap terhadap eksploitasi digital terhadap generasi Z?” kata Nurul Shofiyah, aktivis perempuan Muhammadiyah yang kini menjadi bagian dari Forum Keadilan Sosial Indonesia.
Ia menekankan bahwa berkemajuan bukan berarti “maju ke depan” dalam makna teknologi dan branding semata, tapi maju ke tengah masyarakat, menyatu dengan luka-luka sosial yang nyata.
Twibbon yang Membuka Jalan Dialog
Meskipun terkesan digital dan simbolik, Twibbon juga bisa menjadi ruang memulai percakapan. Di banyak daerah, Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah ke-93 Tahun 2025 digunakan untuk mengajak anak muda berdiskusi lewat ruang daring. Salah satunya adalah komunitas "Pemuda Jari Tengah" di Makassar yang membuat ruang Zoom bertajuk: “Dari Twibbon ke Tindakan: Milad untuk Apa?”
“Awalnya iseng, ternyata banyak yang curhat soal kejenuhan dalam organisasi,” kata Ridho Askar, inisiator acara tersebut. “Dari situ kami sadar, anak-anak muda Muhammadiyah butuh ruang untuk mendefinisikan ulang makna berorganisasi yang sehat.”
Inisiatif ini sejalan dengan tren baru: generasi muda tak lagi suka digurui, mereka lebih suka diajak berpikir, berdialog, dan bertumbuh bersama. Inilah momentum emas bagi Pemuda Muhammadiyah: menjadi rumah ide, bukan hanya rumah struktural.
Link Twibbon Harlah Pemuda Muhammadiyah 93
Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah 2025
Penutup: Dari Simbol ke Gerakan, Dari Milad ke Makna
Milad ke-93 bukan hanya soal angka panjang usia. Ini soal bagaimana organisasi sebesar Pemuda Muhammadiyah bisa kembali merebut ruang kepercayaan publik muda. Dalam era di mana simbol mudah dibuat, tetapi substansi sulit dijaga, tantangan sesungguhnya bukan pada desain Twibbon—tapi pada desain perubahan.
Jika Milad kali ini hanya selesai di unggahan media sosial, maka Pemuda Muhammadiyah sedang menulis epitafnya sendiri. Tapi jika ia mampu menjadikan Milad sebagai momentum pembaruan arah, maka angka 93 bukan sekadar sejarah, tapi juga lompatan masa depan.
"Kita ini bukan pewaris nama besar, tapi pewaris kerja besar," ujar Pak AR Fachruddin dalam salah satu pidatonya yang terus digemakan hingga kini. Mungkin sudah waktunya kita berhenti menggemakan, dan mulai menjalankan.
Tidak ada komentar untuk "5 Twibbon Milad Pemuda Muhammadiyah ke-93 Tahun 2025: Membaca Ulang Makna “Pemuda Berkemajuan” di Era Krisis Makna"
Posting Komentar